Senin, 20 Oktober 2014

JUI PURWOTO


Nama                  : Jui Puwoto
T-Lahir                 : Bogor, 14 Juli 1987
Umur                   : 27 tahun
Tinggi Badan       : 165 cm
Berat Badan        : SEMOK
Agama                 : Islam
Satus Hubungan : LDR'an (Jadi Dia Di Bogor Ceweknya Di Puncak)
Kelebihan            : Muka Random,Mirip Sule & Budi Anduk
Cita-Cita              : Nonton Timnas Inggris Langsung Di Stadion Membley,eh Wembley
Profesi                 : Stand Up Comedian (KOMIK)
Akun Twitter         : @JuiPurwoto


Deskripsi Singkat :
Kribo, Bermuka Random Karena Sering Dimiripin Sama Budi Anduk Dan Sule, Tapi Dia Lebih Seneng Kalo Dibilang Mirip Bruno Mars.

Berkenalan dengan Stand Up Comedy



Dengan tagline-nya yang terkenal, “Sedikit Bicara, Banyak Bercanda”, Jui—sapaan akrab pria ini—dikenal dalam dunia stand-up comedy semenjak September 2011 saat dia mengikuti Stand Up Nite di O’lounge Cafe, Bogor. Kebetulan pada saat itu adalah Stand Up Nite pertama yang diadakan oleh komunitas Stand Up Indo Bogor dan dimeriahkan oleh komika-komika senior, seperti Ernest Prakasa, Mosidik Zamzami, Muhadkly Acho, dan Arief Didu. “Penampilan mereka sangat luar biasa, mereka menginspirasikan saya untuk rutin mengikuti open mic komunitas setiap minggunya. Berbekal materi yang rutin saya bawakan setiap minggu, saya mengikuti Street Comedy 1 dan, Alhamdulillah, dapat juara 3,” kenangnya.
Jui kemudian lebih dikenal secara nasional ketika dia mengikuti program acara Open Mic Stand Up Comedy Metro TV. “Open Mic Metro TV merupakan pintu gerbang bagi para komika baru untuk tampil secara kontinyu pada beberapa program SUC Metro TV, seperti Battle of Comic dan Stand Up Show Metro TV,” tutur pria kelahiran Bogor, 14 Juni 1987 ini.
Menurut Jui, yang membedakan stand-up comedy dengan jenis komedi lainnya adalah, dari arti harfiahnya sendiri, stand up comedy berarti komedi tunggal atau monolog. Secara pemaknaan, stand artinya mempertahankan, jadi stand-up comedy merupakan komedi argumentatif yang bertujuan untuk mempertahankan opini sang komika sesuai sudut pandangnya. “Saya yakin semua bentuk komedi pasti punya maksud atau opini di balik ‘ketidakseriusannya’,” aku Jui. Dia pun menambahkan bahwa, satu hal yang perlu diingat adalah, seorang seorang stand-up comedian dituntut untuk membawakan materi yang orisinil dan bukan berasal dari sumber lain.

Perjalanan Menjadi Seorang Komika



Ketika ditanya apakah tantangan terbesar menjadi seorang komika, Jui mengaku, “Sama seperti performer lainnya, seperti pemain band, dancer, bahkan ustad sekalipun, tampil di depan banyak orang merupakan sebuah tantangan tersendiri,” tuturnya. Namun, selain tampil di depan depan banyak penonton, seorang komika pun dituntut untuk menuai tawa dan itu diakui Jui sangat sulit. “Bayangkan ketika seorang komika  tampil 15 menit, tapi penonton nggak ada yang ketawa sama sekali? Itu rasanya campur aduk antara salah tingkah, cengar-cengir nggak jelas, mau minta maaf tapi nggak mungkin,” canda Jui yang memfavoritkan Ernest Prakasa sebagai inspirasinya ini.
Tantangan lain yang perlu diperhatikan ketika tampil adalah kesiapan materi. Menurutnya, seorang komika harus konsisten dalam membuat materi-materi baru dan mengujinya di open mic. Jui menekankan betapa pentingnya open mic karena acara ini merupakan satu-satunya ajang latihan komika untuk mencoba materi baru. Dalam open mic, ada beberapa materi yang langsung ‘pecah’, namun jika belum, seorang komika harus mau menuliskannya ulang atau mengubah cara penyampaiannya.
Meski stand-up comedy merupakan sebuah hiburan, dalam praktiknya, banyak hal dan teknik-teknik yang perlu diperhatikan. Standar sebuah stand up comedy yang ideal menurut Jui pribadi harus memenuhi beberapa kriteria. Misalnya, materinya harus menarik dan unik. Premis awal harus membuat penonton penasaran hingga membuat mereka terus menyimak. Selanjutnya, punch-nya tidak gambar tertebak. Seorang komika yang baik pun harus pintar dalam mengukur titik tawa. Titik tawa haruslah variatif, ada yang rapat dan renggang, dan renggang bukan berarti jauh. Sekalinya titik tawanya jauh, minimal gaya bahasa seorang komika harus tetap nyaman. Selain itu, seorang komika harus memiliki cara penyampaian yang dinamis. “Ibarat musik, ada forte dan ada pianissimo,” Jui menjabarkan. Dan hal terakhir yang tidak kalah penting adalah, seorang komika mampu menyepelekan sesuatu yang berat dan memberatkan sesuatu yang sepele. Jadi, apabila ada seseorang yang beranggapan bahwa stand-up comedy hanyalah bermonolog di atas panggung, tentu pemikiran itu salah besar karena banyak pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum tampil.
Sebagai seorang komika yang cukup dikenal dan sukses, Jui mengidolakan Ernest Prakasa sebagai komika favoritnya. “Koh (Kokoh, sebutan Jui untuk Ernest Prakasa) Ernest yang pertama kali menasihati saya untuk nggak memakai materi kodian. Materi saya haruslah orisinil dan kreatif. Dia adalah Cina citra rasa nusantara,” ungkap Jui. Menurutnya, nasihat yang diberikan Ernest benar-benar memengaruhi produktivitasnya dalam membuat materi saat awal-awal menjadi komika.
Setelah hampir tiga tahun berkecimpung dalam dunia stand-up comedy di Indonesia, Jui telah banyak malang melintang dalam berbagai acara di banyak kota di Indonesia, baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Banyak pengalaman dan cerita yang Jui dapatkan selama menjadi komika. “Saya bingung mengkategorikannya sebagai suka atau duka. Saya ini orang yang senang bercanda. Dan ketika bercanda itu sendiri dibayar, esensi  dari bercanda agak berubah menjadi sebuah tanggung jawab,” ujar Jui. Meskipun begitu, Jui bersyukur berkecimpung dalam dunia stand-up comedy karena dia memiliki kesempatan bertemu dengan banyak komika, baik dari Bogor maupun luar Bogor. “Selain itu, followers (di Twitter) jadi banyak. Kan lumayan bisa jadi buzzer,” tutur pria lulusan D3 Manajemen Agrobisnis IPB ini sambil tertawa. Semenjak menjadi komika, followers Jui yang tadinya 300-an kini melonjak pesat menjadi 35.000-an. Duka lain yang dialami Jui selama menjadi seorang komika adalah, “Ketika lagi ‘garing’ atau ketika lagi tampil tapi nggak diperhatikan.” Di luar itu, Jui menikmati pekerjaannya menjadi seorang komika

Sedikit Bicara, Banyak Bercanda

Kemampuan Jui sebagai komika pun semakin terasah setelah banyak tampil di berbagai tempat. Sebut saja Jui pernah tampil dan singgah di kota-kota seperti Balikpapan, Pontianak, Padang, Palembang, hingga Lampung. Dan itu semua berkat konsistensinya berkecimpung dalam stand-up comedy. Saat ditanya apakah pencapaian terbesarnya selama ini, Jui menjawab dengan setengah bercanda, “Keberhasilan saya naik pesawat! Rendah banget standar berhasilnya, ya?” tanyanya balik. “Karena dengan naik pesawat, akhirnya saya bisa tahu ternyata awan di langit itu nggak seindah yang digambarkan di Majalah Bobo. Dan nggak semua pramugari itu cantik-cantik, ada juga yang mirip saya,” lanjutnya dengan kelakar.
Di balik pribadinya yang periang dan humoris, Jui memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi dalam dunia stand-up comedy. Jui pun rutin memperhatikan perkembangan stand-up comedy di Indonesia. Menurutnya, perkembangannya saat ini sangatlah pesat karena hampir setiap kota-kota besar memiliki komunitas sendiri yang rutin mengadakan open mic setiap minggunya. Selain itu, dua stasiun televisi nasional memiliki acara stand-up comedy yang akhirnya menelurkan banyak komika profesional. Komika-komika pun banyak yang tur stand-up, mulai dari special show hingga mini show. “Harapan saya ke depannya adalah semoga stand-up comedy mampu memberikan angin segar bagi perkomedian Indonesia. Tetap tumbuh dan berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas bagi pelaku maupun penikmatnya,” harapnya.
Sebelum menutup perbincangan, Jui menyampaikan beberapa pesan bagi mereka yang ingin mengikuti jejak para komika dan turut berkecimpung dalam stand-up comedy. “Pertama, pikir-pikir dulu, sendirian di panggung itu nggak enak. Kedua, rajin nonton stand-up. Kemudian, rajin nulis materi, update wawasan, dan kritis meski untuk hal-hal yang nggak penting,” tuturnya. Jui pun berpesan bahwa menjadi terkenal adalah bonus, yang terpenting adalah seberapa besar usaha kita dalam menjalankannya. “Terakhir, percayalah, lucu itu di tangan Tuhan,” tutup Jui.